Setelah diusulkan selama 12 tahun lamanya, UNESCO akhirnya mengakui subak sebagai warisan budaya dunia. Wow, bangga sekali!
Tentu, pengakuan lembaga dunia yang mengurusi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan PBB ini membuat kita semua bersyukur dan bangga. Di balik pengakuan itu, kita pun wajib menjaganya.
Nilai-nilai ini mengatur hubungan yang harmonis antara manusia dengan dengan Sang Pencipta, antara manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan alam.Seperti kita ketahui, subak merupakan lembaga adat yang mengelola air irigasi untuk kebutuhan pertanian di
Bali.
Sebagai lembaga adat, subak memiliki aturan adat yang berlandaskan nilai-nilai adat yang disebut
Tri Hita Karana.Oleh sebab itu, setiap kegiatan pertanian, selalu diawali dengan ritual khusus yang dilaksanakan di pura sawah yang disebut Pura Uluncarik atau Budugul.
Uluncarik ini khusus dibangun oleh para petani untuk persembahan kepada dewi kemakmuran dan kesuburan Dewi Sri.
Dalam kehidupan sehari-hari, nilai-nilai adat tersebut menghasilkan sikap dan perilaku disiplin bagi para petani anggota subak.
Di antaranya, mereka disiplin menjaga hutan sebagai sumber mata air. Menanami ladang dan lahan-lahan kosong dengan pepohonan untuk konservasi. Kemudian mengelola air sungai dari hulu sampai hilir dengan sistem irigasi yang berpedoman pada peraturan adat dan sanksi bagi yang melanggar.
Melalui lembaga adat subak, air irigasi diatur seadil-adilnya sesuai kebutuhan. Waktu tanam juga diatur sesuai kesepakatan, sehingga setiap petak sawah akan mendapat pasokan air sesuai kebutuhan.
Dalam sistem irigasi subak, dikenal bendung yang disebut empelan. Fungsi empelan ini untuk membendung air sungai di daerah hulu.
Dari empelan, air dialirkan melalui saluran irigasi induk yang disebut telabah gede . Dari saluran induk, air masuk ke kolam pembagi yang disebut tembuku.
Diri tembuku, air disalurkan ke saluran-saluran sekunder yang disebut telabah . Dari telabah air masuk ke kolam pembagi tersier yang disebut tembuku pemaron .
Dari tembuku pemaron ke saluran tersier atau telabah pemaron . Lalu, air masuk lagi kolam pembagi kuarter atau tembuku cerik dan disalurkan ke saluran kuarter atau telabah cerik ke petak-petak sawah yang disebut tempek .
Di Bali, lembaga adat subak ini mengelola sawah sekitar 20 ribu hektar. Sawah-sawah ini terdapat di lima kabupaten, yakni di Bangli, Gianyar, Badung, Buleleng, dan Tabanan.
Hebatnya, lembaga adat yang muncul sekitar abad ke-11 itu hingga kini masih bertahan hingga saat ini.
Oya, kalau kita tengok sejarah, sebetulnya lembaga adat yang mengelola irigasi untuk pertanian ini tidak hanya subak, lo.
Kemungkinan, hampir di setiap daerah punya sistem irigasi sendiri-sendiri. Di Pulau Jawa, misalnya. Pada zaman dulu dikenal pejabat kelurahan yang disebut Mantri Ulu-Ulu . Tugas orang ini adalah mengurusi sistem pengairan atau irigasi di desanya.
Bagaimana di daerahmu? Apakah ada lembaga adat tertentu yang mengatur sistem irigasi seperti subak di Bali?